Invite to Freedom
Saturday, January 16, 2010 @7:02 AM
“Balapan. How?” Melirik satu-persatu—mulai dari manusia yang mematung di paling kanan hingga yang paling kiri—dengan selat Channel yang agak berkilauan dengan sebuah cengiran disertai tarikan pada kedua sudut bibir tipisnya, gadis itu melangkah, melewati gagang sapu yang sudah menempatkan posisi secara horizontal disampingnya. Tidak cukup lama baginya untuk mengetahui respon dari masing-masing warna pelangi yang melingkari dirinya—walaupun bentuknya agak lonjong—untuk membuatnya memantapkan diri di sebuah jok tidak kelihatan pada sapu Nimbus pinjamannya. Ketujuh warna telah sigap diposisinya masing-masing. Dengan kemampuan—telah disesuaikan—kalau pada akhirnya seorang Allen Bentz menaiki sapu Nimbus kepunyaan Jess seorang diri sementara sang Kuning sudah siap duduk berdua bersama si Bi[i]uhuk[/i] lihat sendiri saja ya. Hahaha.
Kelima—kalau dikali dengan tangan satunya akan jadi sepuluh—jarinya telah sigap melingkari gagang sapu dengan diameter kurang dari 10 sentimeter. Dengan lekuk yang tepat di setiap detilnya, gadis itu mengedikkan kepalanya perlahan—memberi signal kepada rekan-rekan terbang yang sudah siap di tempatnya masing-masing—demi memulai balapan.
[b]WHUUUSSSHH!![/b]
Well, [i]nice sound fx.[/i]
Berada pada posisi di tengah, gadis itu membungkukkan badan, mempasrahkan bobot tubuhnya kepada gagang sapu yang nyaris melawan hukum gravitasi. Dengan kedua kaki yang tertekuk ke belakang dan kedua tangan yang masih erat menggenggam gagang sapu 1972 itu, rambut semi cepaknya sedikit banyak bergerak. Tersapu oleh hembusan angin kencang yang juga dipicu oleh kecepatannya yang shuppa. WHOOO—narsis. Segala sesuatu terlihat kecil jika dilihat dari atas—begitu pula dengan bangunan megah tua yang biasa disebut kastil. Terlihat kecil dan setara dengan tinggi pohon Oak dan Willow di keliling hutan terlarang. Tidak lagi mengenakan jubah besar miliknya, kini tersisa kemeja hem putih berlengan panjang—yang sudah sengaja dilinting hingga siku—dengan dasi yang sudah dilonggarkannya. Disertai rok rampel, stoking, dan sepatu pantofel yang terpaksa ia kenakan demi memadukan tampilannya dengan bagian atas tubuhnya. Ah, jangan lupa dengan kacamata bingkai hitam yang senantiasa tersangkut diatas hidungnya. Heran ih, kok AB tidak pernah lupa dengan kacamatanya ya? Tsk.
Menatap semut-semut—dalam konotasi—dibawahnya, gadis itu menyeringai kecil. Menatap semut-semut berbadge hijau perak yang berjalan pelan menuju hutan terlarang. Hm? Mereka punya acara? Yea… who knows? Lagipula, finishnya adalah di hutan terlarang, dan ia tidak sempat berteriak kepada sang Regnbue Kuning dengan pasangannya untuk berhenti saat itu dengan mengganti finish. AB tidak securang itu, kawan. Yeah, sekalipun gadis cepak itu tidak bisa dipastikan sebagai pemenangnya—kecepatannya jelas meningkat dibandingkan saat pertama kali menyalahi aturan belajar terbang bersama NAL, ataupun saat bermain Quidditch dengan Czechkinsky. Yea, surprise—kini Regnbue dengan formasi lengkap—menemaninya terbang dengan misi memenangkan balapan.
Sepasang selat Channelnya menangkap fokus baru. Pendaratan yang mulus ditengah-tengah segerombolan manusia dengan badge hijau perak yang tadi sempat dilihatnya. Yea, tolong suguhkan kue, makanan, minuman enak, karpet merah, dan foto. Ah, kertas gambar juga—jangan lupa.
”Kami... ketinggalan sesuatu?”
Merendahkan terbangnya, sang Bentz muda hanya menatap kosong dan menahan tawa begitu fokusnya tertumpu pada sang Regnbue Kuning. Pfft. ”HUAHAHAHAHAHAHA!!”